Demi mewujudkan perusahaan modern, PLN mencanangkan gerakan anti korupsi denga menggandeng organisasi nirlaba global Transparency International Indonesia (TII) awal Maret lalu. Manajemen PLN bertekad tidak memberikan peluang kepada para koruptor atau calon koruptor “koruptor” bermain di lingkungan PLN.
Hubungan yang digadang-gadang sebagai kerja sama pionir antara BUMN dengan LSM anti korupsi ini menjadi pertaruhan moral kedua pihak untuk membuktikan bahwa apa yang diakukan benar-benar efektif dan berkelanjutan. Terlebih, menurut Amir Rosidin, Kepala Divisi Manajemen Resiko PLN Sekaligus tim anti korupsi PLN, kerja sama dengan TII dilakukan gratis.
“TII tidak dibayar sama sekali. Mereka hanya mengasistensi PLN untuk me-review bisnis proses yang selama ini dilakukan PLN, apakah sesuai dengan best practice”, ucap Amir. Keberhasilan program anti korupsi ini, bagi PLN, kelak akan menjadi tonggak penting untuk membangun dan mengukuhkan corporate culture yang unggul. Namun jika tidak berhasil, akan memunculkan kesan kerja sama tidak efektif.
Bagi TII, keberhasilan program anti korupsi di PLN bisa menjadi benchmark pola kerja sama civil society dengan lembaga strategis seperti PLN. Sebaliknya jika gagal, efektivitas constructive engagement ini bisa dipertanyakan. LSM atau perwakilan civil society bisa selamanya berada dalam pola hubungan diametral, bahkan konfrontif dengan lembaga strategis.
Menurut Amir Rosidin, keinginan anti korupsi PLN dilatarbelakangi persepsi negatif masyarakat terhadap PLN, seperti sambungan listrik baru susah, harganya mahal, dan waktunya lama. Namun hal itu bisa diatasi dengan gebrakan PLN semacam sambungan satu juta pelanggan dalam sehari, perbaikan proses sambungan baru, serta pengadaan call center, e-proc, jproc, dan lain-lain.
“Untuk mempertahankan gebrakan itu berkelanjutan dan menjadikan PLN lebih baik, manajemen merangkul TII agar kejadian buruk dulu tidak terulang,” ucap Amir.
Kerja sama PLN-TII menyoroti reformasi dalam pengadaan barang/jasa dan Pelayanan pelanggan. Sebagai langkah awal, kata Amir, PLNdan TII melakukan pemetaan potensi terjadinya korupsi dalam pengadaan barang/jasa. Sedangkan untuk reformasi pelayanan pelanggan, TII merangkul Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), karena lebih kompeten dalam Pelayanan pelanggan, namun tidak lepas dari asistensi TII.
“Untuk pemetaan potensi praktik korupsi, kami sering menggelar FGD (Focus Group Discussion) dengan stakeholder di internal korporat dan anak perusahaan serta pihak eksternal, sehingga manajemen mengetahui potret keseluruhan PLN,” kata Amir.
Diakui Amir, para pegawai PLN telah mengikuti aturan dan prosedur baru sesuai SK Direksi dalam pengadaan barang/jasa, tapi tidak menutup kemungkinan terjadi kebocoran. “Secara syariat, PLN telah mampu memenuhi step by step proses pengadaan barang/jasa. Namun secara hakikat, masih terjadi inefisiensi dan prosesnya lambat, sehingga kami berusaha terus memperbaikinya. Kalau dipetakan akan ketahuan dimana potensi kebocoran atau inefisiensi itu,” jelasanya.
“Pada Juli 2012, manajemen ditargetkan telah mempunyai peta potensi kebocoran. Sehingga saat rapat operasi pada direktorat masing-masing, peta itu bisa ditunjukkan pada setiap GM. Kalau mengetahui letak potensi kebocoran dan aturan yang tidak sesuai, semua pihak bisa me-review ulang kebijakan yang ada,’ pungkasnya.
Sumber : plnbersih.com
Leave a respond
Posting Komentar